Dalam postingan kali ini, aku mah gak akan membahas Zakat Fitrah, cuma mau menceritakan ulang apa yang ditulis oleh Pak Ir. Haryoto Kunto (alm) tentang pembayaran zakat pada masa keemasan kota bandung sekitar tahun 1920-an. Kalau ada yang ingin lebih jelas mengenai zakat fitrah silakan cari informasinya sendiri ya, salah satunya di Wikipedia ini
Menurut R. Akip Prawira Soeganda dalam buku ‘Upacara Adat Di Pasundan’, membayar zakat fitrah bagi suku Sunda (tempo doeloe) merupakan kewajiban yang harus ditunaikan. Bahkan menjadi adat di dusun, orang merasa hina bila tidak mampu membayar zakat fitrah. Maka lahirlah buah tutur masyarakat Sunda, bila ada orang dihina oleh temannya, maka jawabnya : “Na ngahina teuing, kawas ka jelema nu teu dipitrahkeun bae”. Maksudnya – “Kenapa menghina, seperti memandang kepada orang yang tidak membayar fitrah saja.”
Kesadaran orang di Pasundan untuk memenuhi kewajiban diri membayar zakat fitrah, ketimbang mengatur atau menuntut kemurahan hati orang kaya, benar-benar mencerminkan landasan kuat the spirit of Islam yang mendalam.
Dari kisah Dr. Andries de Wilde (1830), awal abad 19 yang lalu, selain zakat fitrah dan zakat bumi, Mesjid Agung Bandung juga menerima apa yang disebut Zakat Munding (Zakat Kerbau). “Wah, naon deui ieu teh, aya zakat munding sagala ?”
Menurut ketentuan, bagi penduduk atau petani kaya, yang memiliki lebih dari 30 ekor kerbau, diluar jumlah kerbau penghela pedati kopi, harus membayar zakat sebesar 5 Rijksdaalders (1 Rijksdaalders = Rp. 1.50). Atau, untuk setiap 10 ekor kerbau yang dimiliki, harus membayar zakat sebesar satu Dukat Emas setiap tahun.
Yah, namanya juga jaman baheula, perjalanan dari Onder-distrik ke Dayeuh Bandung masih tergolong werit, banyak begal di jalan. Maka, para pembayar zakat lebih suka membayar zakat dengan munding hidup, ketimbang harus membawa uang zakat yang banyak. Jangan-jangan nanti dijambret rampok di jalan.
Jadi bisa dibayangkan, betapa berdesakan kerbau hasil pengumpulan zakat munding, memenuhi Alun-alun setiap akhir bulan Ramadhan. Tentu saja yang namanya tai munding berserakan di mana-mana. Padahal sebentar lagi, lapang Alun-alun bakal dipergunakan sebagai tempat shalat Idul Fitri. Maka sibuklah Marebot dan para santri, kerja keras mengumpulkan dan membersihkan ‘pupuk kandang’, bonus zakat fitrah dari penduduk Tatar Bandung. 🙂
Dari hasil pengumpulan zakat fitrah, baik dalam bentuk barang, uang, hasil bumi, dan munding, kemudian dibagi-bagikan menurut aturan sebagai berikut :
Sembilan persepuluh bagian (90%) diperuntukkan bagi fakir miskin, yatim piatu, musafir, kelana ulama yang kekurangan, dan untuk mengisi Baetul Maal.
Adapun yang sepersepuluh bagian (10%) dari zakat yang terkumpul kemudian dibagi tiga – duapertiga bagian untuk Penghulu, sedangkan yang sepertiga sisanya buat Amil.
Sumber :
Buku “Ramadhan di Priangan (Tempo Doeloe)”, Ir. Haryoto Kunto, PT Granesia, 1996.
Wikipedia
2 Responses to “Zakat Munding, Naon éta téh ? ”